Dalam beberapa bulan ini ALIT sedang melakukan pendampingan atas kasus dugaan tindakan kekerasan seksual yang dialami siswa-siswa SMP oleh Kepala Sekolah mereka (kepsek tersebut merangkap pula sebagai guru agama Islam).
Pendampingan anak-anak dan keluarganya agar mampu menyampaikan fakta apa saja yang mereka alami adalah bukan hal yang mudah, mengingat perlakukan yang buruk dan dianggap memalukan itu terjadi pada mereka. Anak-anak pasti cenderung menutupi kejadian yang sebenarnya.
Melalui pendampingan Trauma healing dengan menggunakan metode Cleansing Negative Memory tehnik Ho’o Pono Pono dari Hawai, akhirnya anak-anak mapu bercerita dengan sangat detail dan gamblang tentang kejadian apa saja, dimana kapan dan dengan siapa saja kejadian itu dialami. alasan mereka tak mau cerita kepada orang tuanya sangat sederhana..mereka tak mau mama mereka syok dan sedih hingga menangis bila nantinya mengdengar kejadian ini.
Pengakuan atas perlakukan buruk itu tentu bagi ALIT adalah hal yang harus disampaikan kepada pihak yang berwenang yakni Aparat Penegak Hukukm (APH) dalam hal ini adalah Polisi, dengan harapan Polisi bisa dengan seksama dan mendetail menilai sejauh mana pelanggaran hukum yang terjadi pada anak-anak SMP ini. cukup melegakan akhirnya polisi menangkap dan menahan kepsek gtersebut dan dijadikan tersangka.
Namun, sungguh tidak mudah menyeret pelaku ke meja hijau ternyata. tatkala berkas dianggap tidak memenuhi unsur hukum oleh pihak kejaksanaan berkas dikembalikan dan proses penyelidikan terulur hingga hampir habis masa penahanan si tersangka. saat terburuk adalah ketika proses penyidikan berulang pemanggilan saksi-saksi juga melengkapi pembuktian terus berlangsung yang membuat semua pihak termasuk ALIT pontang panting plus mengalami perlakuan yang tidak nyaman, pun demikian dengan anak dan keluarga korban, sama sulitnya. Seakan menciptkana suasana agar kasus ini dihentikan saja.
permintaan saksi harus memenuhi unsur pendidikan dan ahli dalam konseling sangat tidak relevan, penyataan yang ditujukan pada ALIT yang disebut-sebut hanya sebagai lembaga yang hanya mengurusi orang jalanan tak layak mengurusi kasus hukum pun terlontar dari mulut penyidiknya. sungguh perkataan yang menjatuhkan mental para aktivis ALIT.
Belum lagi stigma bagi anak yang menjdi korban kepada orang tua setiap kali diminta hadir dalam proses penyidikan selalu disebut-sebut sebagai anak nakal yang sering bikin masalah. stiugmatisasi buruk justru menimpa korban, dimana mulai diumbar narasi bahwa tak mungkin seorang kepala sekolah apalagi guru agama adalah pelakau pencabulan.
Harapan untuk mendapat keadilan bagi anak korban kekerasan seksual tak semudah memutuskan hukuman bagi pelaku termasuk hukuman kebiri. tapi yang paling dibutuhkan adalah bagaimana akses untuk mendapat keadilan sehingga sebarapa pantas hukuman yang dijatuhkan pada pelaku adlaah pantas bagi keadilan korban. bahkan hukuman mati pun pasti sulit diwujudkan tatkala akses keadilan menjadi sulit terutama bila pelaku adalah kaum dari kelompok yang dianggap “suci” bagi publik.
Juga tentang hak korban mendapat pemulihan fisik, mental dan reintegrasi sosial…tak satupun aparatur membahas dan memutuskan kepada siapa korban mendapatkan hak pemunilahan ini. Karena hal terberat bagi semua pihak ketika membiarkan korban tumbuh tanpa proses pemulihan yang benar hanya menumpuk investasi calon pelaku kekerasan seksual di periode berikutnya.
Penulis:
Slamet Santoso S.Pd
Program Manager CRP