Alit Indonesia diwakili oleh Yuliati Umrah selaku Direktur Eksekutif Alit Indonesia diundang di acara Talkshow and Sharing Session International Women’s Day pada 8 Maret 2022 yang diadakan oleh PT Terminal Petikemas Surabaya, di Java Meeting Room 1st floor TPS Administration Building dengan tema It Starts With Us.
Tema ini diangkat untuk mengajak semua perempuan untuk bergerak bersama melawan segala diskriminasi dan belajar untuk mencintai diri sendiri.
Talkshow and Sharing Session ini diisi oleh tiga narasumber yaitu Ibu Astrid Wiratna selaku psikolog, Ibu Yuliati Umrah selaku aktivis hak anak dan perempuan, dan Ibu Jani Purnawanty Jasfin selaku pakar hukum.
Pembicara pertama oleh Ibu Astrid menjelaskan tiga tahap yang dilalui oleh perempuan sebagaimana yang dijelaskan. Pertama masa gadis, dimana kehormatan keluarga dan masyarakat dibebankan kepada anak perempuan melalui bagaimana mereka menjaga diri dan keperawanan mereka.
Selanjutnya adalah masa perempuan pekerja. Masa ini tidak terbatas pada usia maupun jenjang pendidikan. Bekerja dilakukan oleh perempuan untuk mengaktualisasi potensi dirinya dalam pekerjaan tersebut.
Beban yang dilekatkan yaitu jika seorang perempuan ingin sukses dalam karirnya, mereka harus memiliki kemampuan tiga kali lebih baik dari laki-laki. Itupun tergantung pada atasan mereka. Selain itu, perlakuan dan perkataan seksis seringkali dilontarkan oleh laki-laki di lingkungan kerjanya, hanya karena mereka perempuan.
Yang terakhir adalah ibu rumah tangga. Tuntutan pertama yaitu peran sebagai istri yang harus ‘melayani’ suaminya. Tuntutan peran yang kedua yaitu sebagai ibu dari anak-anaknya. Yang terakhir yaitu sebagai manager yang mengelola segala kebutuhan dalam rumah tangga. Berbagai peran dan tuntutan tersebut, membuat perempuan menjadi makhluk yang resilience, lebih bijaksana dalam menentukan prioritas, dan professional.
Pembicara kedua Ibu Yuli, menyampaikan terkait kekerasan dan eksploitasi yang terjadi pada perempuan. Kekerasan dan eksploitasi terjadi akibat adanya relasi kuasa antara pemilik kuasa dan yang dikuasai. Lalu adanya nilai-nilai yang dianggap benar dan ‘mutlak’ oleh masyarakat, yang kemudian seringkali disalahgunakan oleh pemilik kuasa untuk mengekploitasi orang yang relasi kuasanya lemah, seperti perempuan yang tidak bekerja, anak-anak, warga sipil, dan lainnya.
Kekerasan dan ekploitasi dapat terhindarkan apabila kita bisa mulai berfikir bukan sebagai woman, tapi sebagai human. Kekerasan dan eksploitasi akibat adanya relasi kuasa, memang tidak mudah untuk lepas karena adanya ketergantungan dari orang-orang yang relasi kuasanya lemah, kepada para pemilik kuasa.
Ditambah dengan nilai-nilai yang berkembang dan rendahnya kesadaran akan resiko, lambat laun dapat mendorong kekerasan dan eksploitasi menjadi suatu hal yang dianggap wajar. Contohnya, korban pelecehan di masyarakat kita, bukan pelaku yang disalahkan, tapi pakaian yang dikenakan korbannya.
Pembicara ke tiga Ibu Jani menyampaikan tentang dasar hukum terkait hak-hak perempuan dan ketenagakerjaan. Acuan dari berbagai ketentuan HAM yaitu Universal Declaration of Human Rights yang diterima oleh 193 negara anggota PBB, salah satunya Indonesia.
Di Indonesia, HAM diatur di dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999, yang salah satu poinnya adalah mendapat penghidupan yang layak dan mendapat pekerjaan. Sedangkan, Hak Perempuan diatur dalam pasal 45 hingga 51 yaitu hak keterwakilan dalam bidang politik, memperoleh pendidikan dan pengajaran, memilih dan dipilih dalam setiap profesi, dan hak dalam perkawinan.
Dalam undang-undang ketenagakerjaan, juga terdapat hak-hak kodrati yang dilindungi seperti cuti haid, melahirkan, hamil, menyusui, hingga cuti ketika keguguran. Aturan ini harus dimanfaatkan dan ditegakkan untuk memenuhi hak perempuan agar dapat bekerja dengan lebih nyaman dan optimal.*** (RA/MIS)
Penulis : Riris Agustina Anggraini
Editor: Ranau Alejandro