Oleh: Rakai Kurmavatara-Program Manager ALIT Indonesia
Masih banyak yang memahami bahwa partisipasi anak sudah terpenuhi ketika mereka hadir dan tampil dalam suatu acara, perlombaan atau pentas. Dalam kegiatan ini, kerap kali yang terlihat justru mereka menjadi tontonan suatu pertunjukan. Alih-alih atas nama partisipasi anak, mereka justru menjadi obyek orang dewasa. Memakai anak-anak untuk penuhi target, kepuasan dan kebanggaan orang tua mereka sendiri.
Mari kita coba lihat hal di atas dalam perspektif prinsip umum konvensi hak anak point yg keempat, yaitu “respect the view of children”. Saya mencoba menggambarkan bagaimana “respect” itu dipraktikkan.
Saat ini kami tengah dalam proses pembangunan pertanian permakultur di lahan desa. Kami menyepakati penggunaan sisa lahan permakultur yang akan digunakan warga bertani secara berkelanjutan itu, dijadikan tempat bermain anak-anak. Namun, ada cerita menarik di balik kesepatakan ini.
Sebenarnya lahan permakultur itu berdiri di atas lahan kosong yang dulunya menjadi tempat bermain anak-anak. Setelah proses permakultur berjalan, otomatis lahan itu digunakan sebagai lahan pertanian, yang notabene diolah oleh orang-orang dewasa.
Dalam kondisi itu terjadilah aksi protes ala anak-anak. Karena tak ada lahan bermain, anak-anak mengalihkan kegiatan dan sepertinya mencari perhatian dengan memetik tanaman-tanaman di dalam lahan, menceburkan diri ke kolam ikan, menjaring benih ikan dengan saringan tepung yang digunakan praktik para ibu untuk membuat tepung mocaf. Duhhh…
Kami menyadari, ini terjadi karena mereka kehilangan ruang dan hak bermain. Itulah anak-anak. Itulah cara mereka mengingatkan kita.
Yang kami lakukan kemudian adalah membuat kesepakatan dengan mereka untuk membuat lahan bermain baru. Pada suatu kesempatan, kami berkumpul dan merapatkan hal ini bersama anak-anak. Kami ajak mereka untuk terlibat dalam kesepakatan yang dibuat. Mulai dari membuat siteplan, hingga mewujudkan lahan bermain itu.
Kesepakatan kami buat tidak hanya dengan anak-anak, pun dengan para orang tua yang tidak diperbolehkan menganggu lahan bermain yang sudah ditetapkan untuk anak-anak.
Saya, sebagai orang dewasa memahami, tidak memutuskan sendiri mengenai bentuk ruang bermain yang di lahan mereka. Namun demikian, saya juga tidak membiarkan mereka sendirian dalam mengaturkan hal ini. Saya hadir diantara mereka dengan melandasi peran saya sesuai dengan prinsip pertama konvensi hak anak, “the best interest for child” dan prinsip ketiga, “right to life in a good environment“.
Maka, dalam kesepakatan bersama inilah kita berbagi peran sesuai dengan kemampuan dewasa dan kemampuan anak-anak. Tanpa menjadikan mereka sebagai obyek, tanpa membuat mereka terekploitasi, dan tentu saja, ketika lahan bermain ini telah jadi, maka kebanggaan yang diperoleh adalah milik mereka. Sama seperti keceriaan yang akan mereka dulang saat lahan bermain ini telah rampung.***(RK/PM)