ALIT BROMO–Sayur segar hijau merekah di lahan permakultur Desa Ngadiwono, Tosari, Pasuruan. Dibanding sebelumnya, tegakan-tegakan yang sekarang ada di sekitar tanaman utama pun ikut bertumbuh tegap, sesuai dengan namanya. Sistem Tumpang Sari yang telah menjadi warisan pertanian nenek moyang ini dihidupkan kembali di Desa Ngadiwono untuk meningkatkan produktivitas pertanian tanpa merusak alam.
Pagi dan sore hari, kabut tebal kerap menyelimuti desa yang berdekatan dengan puncak Bromo ini. Jika mulai siang, terik matahari menyibak kabut. Embun jatuh pada daun, berbagai tanaman sayur yang tumbuh subur di desa lereng gunung ini. Semakin terang, kita akan bisa melihat sebuah lahan dengan kemiringan 45 derajat bertumbuhan sayur-sayur segar.
Demonstration Plot Program Dewa Dewi Ramadaya yang diprakarsai ALIT Indonesia dan bekerja sama dengan pemerintah desa setempat dalam penyediaan lahan, mulai terlihat hasilnya. Setelah mulai akhir tahun lalu metode permakultur diaplikasikan di lahan ini, hasil kerja swadaya warga ini berseri.
Olah pertanian sudah tak asing lagi bagi mereka. Pola tanam mengikuti pola musim yang berlaku. Ketika metode ini disosialisasikan pada warga, lebih mudah mereka memahami dan mengikuti.
Herman, salah seorang warga Desa Ngadiwono yang terlibat aktif dalam pengolahan demplot merasakan perbedaan dengan sistem permakultur ini, “Prinsip utama yang kami dapatkan adalah perawatan secara organik adalah penting untuk menghasilkan hasil tanam yang sehat.”
Lahan permakultur ini mengandung harapan besar bagi warga di Desa Ngadiwono. Lahan ini merupakan percontohan lahan yang menjaga keharmonisan dengan alam melalui metode permakultur. Pembukaan lahan yang tidak bijak serta penggunaan bahan kimia di lereng gunung akan bisa mencemari tanah dan juga air yang akan mengalir ke desa-desa di bawahnya. Pun, hasil dari lahan ini juga memberikan asa bagi pendapatan ekonomi bagi warga sekitar.
Ketika pola pertanian lain mengejar hasil produksi masal dengan masih merusak lingkungan, di Desa Ngadiwono, lahan ini justru menyeimbangkan semua elemen alam dan berkah kesuburan di lereng gunung berdampingan dengan manusia yang mengolahnya dengan bijak. Nilai-nilai kebudayaan masyarakat Tengger yang penuh kebajikan atas alam diaplikasikan di lahan ini.
Anak-anak Tengger, pun tak ketinggalan ikut merawat lahan ini dan belajar darinya. Pada peringatan Hari Bumi, April lalu, anak-anak Tengger yang diprakarsai oleh para remaja melakukan penanaman pohon di lahan ini. Mereka pun ikut berinvestasi menciptakan lingkungan yang baik di tempat hidup mereka. (NGA/MIS)