Bila mendengar kata “pendekar”, pasti tidak asing dengan perguruan bela diri. Itu lah yang masih terjadi di desa Klungkung, Jember. Desa klungkung berjarak tempuh 4 jam dari Surabaya. Sebagian besar masyarakat jember adalah etnis Madura dan Jawa atau lebih tepatnya Pandalungan.
Menurut teman-teman para Duta dan relawan yang saya temui di Desa Klungkung, mereka masih melestarikan olah tubuh sekaligus bela diri yang diturunkan sejak era Majapahit. Olah tubuh ini dilestarikan secara turun temurun. Sayangnya, peminat ilmu bela diri warisan ini sudah mulai berkurang. Olah tubuh yang disebut sebagai silat ini kemudian dijalankan oleh anak-anak muda yang benar-benar terpanggil untuk belajar. Beruntung saya masih bisa menemui mereka.
Dalam diskusi dengan para duta dan Kepala Desa, Desa Klungkung banyak sekali memiliki pelestarian tradisi yang masih dijalankan. Tahlilan misalnya, ketika ada yang meninggal, keluarga harus memberikan selamatan suguhan, menariknya bagi para tamu yang datang dan memiliki kelebihan rezeki, menjadi kebiasaan membawakan suguhan yang lebih bagus untuk keluarga yang tidak mampu. Hal ini akan berlaku sampai 1000 hari di hari-hari tertentu. Tepat di 1000 hari, suguhan pun berganti menjadi membawakan pakaian sesuai gender yang meninggal.
Tradisi yang berhubungan leluhur juga masih diselenggarakan di Desa Klungkung. Setiap setahun sekali ada upacara selamatan bersama dan menari mengitari punden atau kuburan nenek moyang yang mendirikan Desa Klungkung. Menurut mereka, doa bahasa Madura dan Arab.
Di hari kedua kunjungan, saya diajak para Duta Desa untuk melihat dan mandi di air terjun Tunjung Angin. Jarak yang ditempuh ke lokasi dua jam menggunakan mobil offroad dan 30 menit jalan kaki. Jalan yang dilalui cukup sulit dikarenakan berupa jalan lumpur sehingga sebagian sepeda motor yang mengikuti banyak yang terjebak.
Perjuangan mencapai lokasi air terjun terbayar ketika sudah tiba di hadapan air terjun yang dituju. Airnya segar, bersih karena minim sekali sampah. Kelihatannya karena medan tempuhnya sulit maka, jarang yang berkunjung ke sana. Padahal air di sana sangat jernih dan segar. Kami semua yang di sana tak dapat menahan diri untuk mandi di sungai yang mengalir dari air terjun.
Malam harinya, kami para Duta diajak para tetua setempat melihat pagelaran pencak silat yang sudah diajarkan turun temurun. Mulai dari anak-anak hingga orang tua, ikut terlibat. Dalam perbincangan dengan berbagai penduduk, saya menemukan sebuah catatan yang membuat tradisi ini menjadi berubah makna. Stigma Pendekar yang disematkan pada mereka yang bisa silat ini kemudian berkonotasi negatif. Pendekar diasosiakan dengan kekerasan, terutama kekerasan yang digunakan untuk mempertahankan perempuan atau pasangan. Dalam pemikiran saya, stigma ini bisa saja menjadi pemicu berkurangnya minat generasi sekarang untuk mempelajari bela diri, karena berhubungan dengan kekerasan dan penghormatan terhadap perempuan, serta membahayakan diri sendiri atau orang lain. Padahal kalau dilihat dari sejarahnya, bela diri ini membawa warisan budaya yang harus juga dipelajari maknanya. Karena bela diri tentu mengandung hal-hal larangan dan aturan ketika menggunakan olah tubuh sebagai pertahanan. Hal ini perlu digali lebih dalam lagi.
Bagi saya, kunjungan ke Desa Klungkung, Jember memberikan banyak hal menarik dalam potensi wisata dan budaya desa tersebut. Ditambah lagi dengan dengan visi misi desa yang ingin menjadikan desa sebagai desa ramah anak sudah sesuai dengan tujuan Dewa Dewi ramadaya. Namun ada satu hal terakhir yang perlu disorot, apakah warga sini sudah betul betul siap untuk menjadikan desa mereka desa pariwisata?
Dari beberapa obrolan mengenai potensi kebudayaan desa, kebanyakan warga menekankan kompetisi sebagai unjuk diri kehebatan desanya. Namun menurut saya, kompetisi saja tidak cukup untuk itu, tapi pemahaman seluruh warga terhadap wisata ramah anak adalah yang sebenarnya harus dikuatkan. Selain itu, bila desa didorong sebagai pariwisata yang berasaskan ketungan, maka desa akan rentan menjadi sebuah kapitalisme baru. Ini yang tidak boleh terjadi dalam konsep Desa Wisata ramah anak berbasis kebudayaan. Karena jati diri Indonesia bukanlah pada meraup keuntungan sebesar-besarnya, namun dalam proses pembangunan desa, keterlibatan warga bergotong royong untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Penulis: Ranau Alejandro, Mahasiswa Antropologi Universitas Airlangga, Duta WICAKSANA Dewa Dewi Ramadaya