
Kondisi Masyarakat Bali Saat Pandemi
Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memusatkan aktivitas ekonominya pada bidang pariwasata. Hal tersebut menyebabkan timbulnya ketertarikan yang besar di kalangan masyarakat untuk mengemban ilmu di sekolah-sekolah pariwisata dengan harapan mendapat masa depan yang cerah.
Pariwisata yang menjanjikan jelas memengaruhi ketidakseimbangan pesebaran tenaga kerja. Jumlah pekerja yang menggantungkan kehidupannya pada sektor pariwisata dapat dikatakan sangatlah besar, bahkan bisa mencapai lebih dari setengah penduduk di Bali. Pengrajin, pedagang souvenir, penjual makanan, pekerja penginapan, pekerja di tempat wisata merupakan pekerjaan-pekerjaan yang familiar bagi warga setempat. Namun, ketika pandemi datang, seperti sekarang, dan menyebabkan penurunan jumlah turus yang datang, pariwisata tak lagi dapat diandalkan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik bulan Agustus 2020, tingkat pengangguran terbuka di Bali sudah mencapai angka 5,63% dari jumlah angkatan kerja yang ada, atau dapat dikatakan bahwa terdapat 299.797 orang menganggur. Angka ini meningkat drastis bila dibandingkan dengan tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2019 yang hanya mencapai angka 1,57%.
Angka pengangguran yang meningkat drastis merupakan salah satu dampak dari menurunnya kehadiran turis akibat pembatsan mobilisasi antar negara yang menyebabkan meruginya tempat-tempat pariwisata dan penginapan. Tak hanya tempat wisata yang merugi, para pekerja seni seperti pengrajin pun mengalami dampak nyata akibat sepinya orderan. Berdasarkan data BPS, angka pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 (YoY) Bali mencapai angka -12,28%. Hal ini jelas menggambarkan seberapa terpuruknya kondisi masyarakat di Bali, tak terkecuali warga desa Tampak Siring. Jika kondisi ini diteruskan maka resiko kejadian masalah kesehatan akibat standar hidup yang menurun akan semakin besar.
Berdasarkan wawancara yang saya lakukan dalam kunjungan saya ke salah satu daerah binaan ALIT Indonesia yaitu desa Tampak Siring yang terletak di Kabupaten Gianyar Bali, warga setempat mengalami kemorosotan ekonomi yang begitu besar hingga banyak yang dirumahkan dan akhirnya membanting stir mata pencahariannya. Akan tetapi, salah satu hal yang disayangkan adalah kemorosotan ini tidak membuat masyarakat menengok kembali ke potensi alam yang mereka miliki di sekitar mereka. Padahal, jika diamati, banyak potensi luar biasa yang jika dimanfaatkan dengan maksimal oleh warga sekitar dapat membantu mengangkat ekonomi warga. Terdapat berbagai macam potensi, salah satunya adalah potensi untuk WARAS.
Beberapa hal yang saya temukan pada kunjungan saya ke desa tersebut dan dapat dimanfaatkan dalam bidang waras adalah tumbuh liarnya kecombrang beserta buahnya yang unik, loroh cemcem yang dapat dijadikan minuman herbal, boreh anget yang dapat dimanfaatkan dalam dunia kecantikan sekaligus penghangat tubuh, kehadiran Tirta Mengening yang dapat dimanfaatkan dalam dunia spa, buah wuni yang tumbuh liar namun tidak dimanfaatkan, dan bunga-bunga penuh manfaat seperti gumitir dan kitolot yang tak dianggap keberadaannya.
Potensi Waras & Rekomendasi pada Kecombrang
Potensi yang saya sebutkan di atas masih belum menjadi prioritas masyarakat. Hal tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai manfaat yang dihasilkan oleh tanaman-tanaman tersebut serta bagaimana cara pengolahan yang baik. Salah satu contohnya adalah kecombrang.
Di Bali, bagian kecombrang yang digunakan hanya bagian bongkot atau rimpangnya saja dan hanya dimanfaatkan sebagai komponen pelengkap pada sambel matah. Bunga, daun, bahkan buahnya kerap kali dibuang karena dianggap tidak dapat dikonsumsi. Padahal, menurut penelitian Jafaar et.al. (2007) tak hanya rimpangnya saja, daun, bunga, maupun batangnya mengandung beberapa jenis minyak esensial yang bersifat bioaktif dengan perentase kandungan minyak esensial sebesar 0,0735% pada daun, 0,0334% pada bunga, 0.0029% pada batang, dan 0.0021% pada rimpang. Minyak esensial ini berisikan kandungan senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida yang berkaitan dengan aktivitas antibakteri, dan antioksidan (Naufalin, 2005; Antoro, 1995). Bahkan, ekstrak bijinya memiliki kemampuan sitotoksik terhadap kultur sel murine leukemia P-388.
Berdasarkan kajian manfaat yang begitu besar dalam tanaman kecombrang tersebut alangkah sangat baik jika masyarakat dapat mengembangkan produk-produk olahan dari tanaman tersebut. Tak hanya dalam bentuk makanan, masyarakat juga dapat membuat racikan-racikan minuman herbal baru seperti teh herbal yang dapat dikombinasikan dengan rempah atau tanaman herbal lainnya demi meningkatkan nilai ekonomi dari tanaman kecombrang yang banyak tumbuh secara liar di sekitar mereka. Selain itu, masyarakat dapat pula membuat pil suplemen yang dibuat dari ekstrak tanaman kecombrang demi mengoptimalkan imunitas tubuh selama pandemi covid-19 berlangsung.
Potensi Waras & Rekomendasi pada Kitolot dan Gumitir
Potensi kedua yang dapat dimanfaatkan adalah kehadiran bunga kitolot dan gumitir yang banyak tumbuh liar. Daun tanaman ini mengandung zat bioaktif seperti senyawa alkaloid, flavonoid, dan saponin yang telah terbukti memiliki khasiat dalam penyembuhan penyakit iritasi mata. Sedangkan, bunga gumitir memiliki manfaat yang baik bagi kesehatan karena mengandung komponen bioaktif berupa flavonoid, fenol, dan karotenoid berupa lutein sehingga sangat berpotensi digunakan sebagai teh herbal.
Proses produksi teh herbal dari bunga ini dapat dilakukan dengan berbagai metode pengeringan antara lain adalah pengeringan matahari, pengeringan oven, pengeringan dingin, pengeringan udara, dan pengeringan sangrai. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Bagus Pranantha Bistara Kusuma et al. dalam Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian Agrotechno tahun 2020, pengeringan dingin mampu menghasilkan teh herbal dengan karakteristik terbaik yaitu kadar air sebesar 6,86%, total fenol sebesar 83,88 mg GAE/g ekstrak, total flavonoid sebesar 373,06 mg QE/g ekstrak, nilai IC50 sebesar 257,65 mg/L, dengan karakteristik sensoris paling disukai karena menghasilkan rasa khas bunga gumitir paling jelas, tidak adanya rasa asam pada aftertaste, dan warna merah kekuningan yang menarik perhatian.
Potensi Waras & Rekomendasi pada Cemcem dan buah Wuni
Spondias pinnata Kurz, atau yang kerap kali dikenal dengan tanaman cemcem, memiliki daun yang mengandung steroid, saponin, flavnoid, tannin, vitamin C, asam organik dan terpenoid yang memiliki efek antioksidan, antibakteri, mengobti panas dalam, menambah nafsu makan, dan meningkatkan stamina. Daun tanaman ini dapat diproduksi sebagai jamu (dalam Bahasa Bali loloh) yang dalam proses pembuatannya dicampurkan dengan asam cabai rawit dan asam untuk menambah citarasa dari loloh cemcem yang dibuat. Akan tetapi, produk tersebut sudah diproduksi secara massal oleh masyarakat penglipuran, Bali. Maka dari itu, tidak ada salahnya jika masyarakat desa Tampak Siring mampu membuat olahan minuman herbal baru dari tanaman cemcem ini dengan memanfaatkan sumber daya alam lain yang terdapat di lingkungan sekitar mereka dan melakukan gabungan atau fussion terhadap minuman tersebut sehingga dapat menciptakan citarasa baru, Misalnya, penggabungan cemcem dan kecombang atau penggabungan cemcem dan teh gemitir serta membuatnya dalam bentuk yang menarik bagi anak muda.
Selain itu, terdapat buah wuni atau kadan disebut buni yang ekstraknya memiliki potensi dalam dunia medis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Narod et al. pada tahun 2004, buah buni memiliki kandungan antibakteri pada buahnya dan memiliki potensi untuk digunakan sebagai salah satu bahan alternative pembuatan antibiotik. Secara tradisional beberapa golongan masyarakat, telah menggunakan tanaman ini untuk mengobati darah tinggi, jantung berdebar, anemia, sifilis, anti kanker, anti radikal (Butkhup & Samappito, 2011), dan sebagai sumber zat warna alami (Amelia et al., 2013). Daun buni mengandung sejumlah saponin, flavonoid, dan tannin dan buahnya mengandung antosianin, flavonoid dan asam fenolat (Butkhup & Samappito, 2008). Daun dan kulit batang tumbuhan ini mengandung alkaloid, saponin, tanin dan flavonoid, sedangkan akarnya mengandung senyawa saponin dan tanin (Arland 2006). Tanaman ini dapat dimanfaatkan dalam berbagai macam olahan. Buahnya dapat diproduksi menjadi minuman olahan seperti wine. Daunnya pun dapat diolah menjadi makanan yang dapat dipadukan dengan nasi.
Potensi Waras & Rekomendasi pada Tirta Mengening
Potensi terakhir adalah kehadiran sumber air yang luar biasa jernih di dalam lingkungan Tirta Mengening. Tirta ini dianggap sebagai tempat suci dan digunakan untuk kegiatan “melukat” yang berarti menyucikan atau membersihkan diri. Air yang jernih di dalam tirta ini dipercaya mengandung berbagai manfaat bagi orang yang mandi maupun mengonsumsi air dari sumber air ini. Kehadiran Tirta mengening dan tradisi melukat di masyarakat berbanding lurus dengan konsep terapi air yang disebut Spa. Spa merupakan singkatan dari solus per aqua atau sante per aqua yang berarti ‘sehat melalui air’. Metode ini sering digunakan oleh bangsawan-bangsawan sejak dahulu kala. Biasanya, bangsawan-bangsawan tersebut memiliki kebiasaan berendam di sumber-sumber air yang berisi air dengan heksagonal tinggi. Sayangnya, walaupun dianggap memiliki banyak manfaat dan kerap kali didatangi warga mancanegara yang ingin meneliti kandungan air sumber air ini, belum ada masyarakat lokal yang tertarik untuk melakukan hal serupa. Kedepannya, perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai kandungan mineral pada air di tirta mengening sehingga masyarakat dapat dengan jelas mengetahui manfaat tirta tersebut dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu tempat spa terbaik di dunia.
Penulis: Annisa Ainur Rahma, Mahasiswi FKM Universitas Airlangga, Duta Waras Dewa Dewi Ramadaya