Bahan utama ketiga adalah Buah Krangean. Krangean dalam bahasa Latin disebut Litsea cubeba. Merupakan salah satu jenis cubeba (pipper/merica) yanga hanya tumbuh di 3 gunung di Indonesia yakni Bromo, Semeru dan Arjuno.
Buah krangean adalah buah yang sangat penting bagi banyak kebutuhan warga suku Tengger selain untuk sambal. Krangean selalu hadir dalam tradisi “jamu” penyakit apa saja.
Cerita dari beberapa warga, bagi yang menderita batuk rejan, maka buah dan daun kragean dikunyah sampai lembut dan ditelan.
Selain itu, tubuh juga dibalur “bobok” dengan tumbukan daun dan buah krangean dicampur minyak kelapa dan bawang merah untuk memperlancar dahak yang keluar. Ramuan ini juga dipercaya sebagai penyembuh luka serta otot yang terkilir.
Krangean memiliki aroma tajam seperti kayu putih (Eucaliptus) dan sangat hangat di perut. Bila dikeringkan dan dijadikan bubuk untuk dicampur dengan minyak kelapa, krangean dapat menjadi ramuan minyak pijat yang halus dan hangat.
Selain krangean, daun dan buah labu adalah makanan sehari-hari yang tidak boleh ketinggalan, dimana hal ini dipercaya untuk mencegah sakit diare, batuk dan flu. Selain itu juga dapat mencegah beberapa penyakit lain, seperti kencing manis/diabetes, liver dan ginjal. Mereka mempercayai bahwa mengkonsumsi daun-daun yang dijadikan “kulub” adalah obat bagi tubuh mereka.
Untuk sumber karbohidrat yang mereka gunakan adalah beras jagung putih atau gerit. Dipadu dengan camilan sore yang dingin seperti singkong putih rebus yang sangat empuk dan gurih.
Secangkir kopi dengan pemanis gula merah juga merupakan suguhan lazim di desa desa ini. Kopi robusta Java adalah tanaman endemik yang tumbuh subur di kebun dan hutan-hutan. Semua dirawat secara organik karena menurut mereka untuk konsumsi keluarga tak perlu modal uang, tetapi memanfaatkan yang disediakan alam.
Bibit berasal dari sisa hasil panen. Diambil yang terbaik untuk dijadikan benih yang mereka gantung di para-para dapur rumah mereka. Sehingga jelas, pertanian untuk konsumsi sendiri bagi warga suku Tengger adalah warisan bukan pangan yang diambil dari luar termasuk warisan benih yang turun temurun mereka jaga dan tidak untuk dijual.
Soal lauk sebagai sumber protein, mereka mempunyai stok tetap dapur berupa ikan asin yang mereka beli di pasar kecamatan. Disamping itu mereka juga menyimpan kacang polong dan koro untuk dibuat campuran sayur lodeh serta tempe.
Telur juga mereka selalu siap di mana setiap rumah selalu terdapat kandang tempat ternak ayam kampung yang mereka ambil telurnya. Sedangkan ayam tidak mereka konsumsi kecuali pada hari upacara tertentu sebagai sesaji menu (ingkung) atau sesaji hidup dalam kasada (disebut Iber-iber). Kebutuhan protein tambahan mereka nikmati dari lezatnya oseng-oseng jamur Grigit maupun jamur barat.
Fakta kehidupan masyarakat suku Tengger yang hidup terpencil dan jauh dari fasilitas kesehatan (jarak antara desa dengan kecamatan rata-rata diatas 10km melintas hutan dengan jalan yang masih berbatu di lereng gunung yang selalu berkabut), memiliki cara bertahan hidup yang menjaga kesehatan mereka dan telah berlangsung ratusan tahun secara turun temurun.
Rendahnya kasus sakit bahkan saat terjangkitnya virus Covid-19 serta keberadaan para penyembuh tradisional (dukun kesehatan), yang berposisi sama pentingnya dengan para dukun pemimpin ritual, memiliki kemampuan menghafal beragam jenis tanaman untuk obat. Ini menjadi bukti bahwa kebiasaan makan masyarakat suku Tengger sudah mempertimbangkan ketahanan hidup mereka.
Tradisi masyarakat suku Tengger yang sangat menjaga adat yang diturunkan oleh nenek moyang mereka sejak ratusan tahun lalu terbukti membuat masyarakat suku ini memiliki ketangguhan yang luar biasa.
Tidak hanya ketahahan pangan namun juga kedaulatan dalam beragam manifestasi kehidupan mereka. Mengikuti penanggalan Jawa Asli, pola tanam, pola pengolahan pangan, obat-obatan tradisional bahkan membuat bangunan rumah. Semua disediakan alam dan mau tak mau mereka menjaga keberlangsungan alam hayati di sekitar mereka. Hal ini demi kelangsungan hidup generasi suku Tengger di masa mendatang.***
Penulis : Yuliati Umrah (Director Excecutive of Alit Indonesia)
Editor : Riris Agustina Anggraini