Pandemi Covid-19 menghadapkan semua manusia di dunia pada dampak kemerosotan ekonomi. IMF bahkan memprediksi adanya penyusutan output ekonomi sebesar 5%, dimana angka tersebut 2% lebih tinggi dari perkiraan mereka pada awal bulan April 2020. Indonesia menjadi salah satu negara yang menghadapi masalah serius terkait kemerosotan ini.
Menurut Sri Mulyani, perekonomian Indonesia mengalami dampak kontraksi dalam hingga mencapai minus 5,32% pada kuartal II-2020 ini. Hal tersebut sebagian besar disebabkan oleh munculnya berbagai kebijakan terkait dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang menyebabkan mobilitas terhambat dan melumpuhkan perekonomian. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah membentuk berbagai upaya strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, salah satunya melalui jalur pariwisata.
ALIT Indonesia sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada perlindungan hak-hak anak merasa strategi pertumbuhan ekonomi melalui jalur pariwisata dapat menjadi suatu ancaman jika tidak dipersiapkan dengan matang. Faktanya, jauh sebelum pandemi ini terjadi dan sebelum pariwisata dijadikan tombak utama perekonomian Indonesia, telah terjadi ratusan kasus eksploitasi anak baik secara seksual maupun ekonomi di daerah-daerah pariwisata.
Menurut data yang diperoleh oleh ECPAT Indonesia, 30% perempuan Indonesia yang bekerja di dunia pelacuran adalah anak berusia di bawah 18 tahun dengan perkiraan 40.000-70.000 anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual komersial setiap tahunnya. Hal tersebut membuat Indonesia mendapatkan julukan “Surga bagi para Pedofilia”. Apalagi ditambah penanganan hukum yang belum cukup tegas hingga membuat kasus-kasus eksploitasi menjadi layaknya gunung es. Terlihat sedikit di permukaan namun menusuk dalam di bawah permukaan. Oleh karena itu, agar tetap mampu memberikan perlindungan secara optimal kepada anak-anak Indonesia namun tetap mendukung program yang dijalankan oleh pemerintah, ALIT Indonesia membentuk suatu program yang disebut sebagai “Dewa-Dewi Ramadaya” yang merupakan singkatan dari “Desa Wisata Agro dan Desa Wisata Industri yang Berkebudayaan dan Ramah Anak. “
Program tersebut merupakan upaya peningkatan potensi desa dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebudayaan Indonesia demi mendukung kawasan pariwisata yang ramah anak dan terhindar dari eksploitasi seksual komersial pada anak. Sebagai bentuk realisasi program tersebut, ALIT Indonesia telah membentuk suatu modul yang ditujukan sebagai panduan pelatihan bagi duta masing-masing desa pariwisata dan telah memberikan pelatihan bagi duta-duta dari 7 desa yang terdiri dari kawasan Malang, Batu, Pasuruan, Bali, Banyuwangi, Flores, dan Jember. Duta-duta tersebut nantinya memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi warga, khususnya pemuda desa, untuk dapat mengangkat potensi-potensi yang dimiliki oleh desa mereka sesuai dengan 7 unsur kebudayaan.
Tujuh unsur kebudayaan tersebut terdiri atas Wastra yang berfokus pada kain-kain tradisional serta penggunaannya, Wareg yang berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan, Wasis yang berfokus pada pendidikan pada keturunan, Wisma yang berfokus pada arsitektur rumah tradisional dan lanskap sekitarnya, Waras yang berfokus pada segala upaya yang dilakukan untuk menjaga kesehatan, Waskita yang berfokus pada ritual, tata cara, upacara-upacara adat yang berlaku yang berdasarkan harmonisasi antara manusia dengan alam sekitarnya, dan Wicaksana yang berfokus pada nilai-nilai serta aturan-aturan adat yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis. Tak hanya itu, duta yang ditugaskan memiliki tanggung jawab untuk memastikan desa wisata yang terbentuk memiliki tindakan tegas terhadap penolakan eksplotasi anak baik secara seksual maupun ekonomi.
Penulis: Annisa Ainur Rahma (Duta Nasional Dewa Dewi Ramadaya, Fasilitator Pelatihan Duta Desa Dewa Dewi Ramadaya, Mahasiswa Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Masyarakat)