Melestarikan tidak terbatas pada menjaga yang ada. Dalam ruang kebudayaan, melestarikan juga berarti merunut akar dari tradisi yang ada. Dari situ kemudian bisa diketahui makna yang terkandung di balik tradisi yang berlaku. Yang dilestarikan sebenarnya adalah nilai dari aktivitas kebudayaan itu, bukan hanya sekadar ritualnya.
Desa Balesari, Ngajum, Malang, mewarisi sebuah tradisi yang melibatkan unsur ruang dan aktivitas. Disebut sebagai Sumber Manggis. Terletak di dusun Segelan desa Balesari kecamatan Ngajum, kabupaten Malang. Sumber air ini disebut dengan sumber manggis karena titik sumber tepat berada dibawah pohon manggis yang sejak dahulu hingga sekarang masih terjaga kelestarian dan kejernihannya. Sumber air ini tidak bisa lepas dari satu bingkisan sejarah dan budaya yang pernah di ukir oleh Eyang Jugo dan Eyang Sujono. Dua nama terakhir oleh warga sekitar disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali menemukan mata air di bawah pohon manggis tersebut. Nama asli mereka adalah Raden Mas Soeryo Koesoemo atau Kyai Zakaria II atau Eyang Jugo dan Raden Mas Iman Soedjono. Dua tokoh ini merupakan pengawal setia Pangeran Diponegoro kala melawan kolonialisasi Belanda. Makam dua tokoh ini dapat ditemukan di Pesarean Gunung Kawi, lebih tepatnya di desa Wonosari.
Saat awal menyebarkan agama Islam dan merintis padepokan di Gunung Kawi, mereka berdua memulai ritual dengan mensucikan diri di salah satu sumber air yang kini berada di desa Balesari, sumber air itu disebut dengan sumber Manggis. Menurut warga desa Balesari, Eyang Jugo dan Eyang Sujono selalu memulai mandi pensucian diri sebelum naik ke areal puncak gunung atau yang sekarang sering disebut Pesarean Gunung Kawi. Oleh para pengikutnya dan seluruh peziarah, ritual mensucikan diri sebelum naik ke puncak gunung Kawi ini seolah-olah menjadi satu keharusan tatkala akan berziarah ke pesarean. Keharusan ini memberikan makna bahwa ketika kita akan memanjatkan doa, maka kita perlu meninggalkan debu-debu dunia yang masih menempel di tubuh dan pikiran kita, sehingga kita bisa menjadi suci lahir dan batin ketika menghaturkan doa.
Namun, sampai tahun 1990an prosedur ritual mensucikan diri ini mulai ditinggalkan oleh para peziarah. Kebanyakan dari mereka memilih langsung menuju lokasi pesarean yang berada di desa Wonosari tanpa mengikuti prosedur ritual yang dahulu pernah dilakukan, yakni terlebih dulu mandi mensucikan diri di sumber Manggis. Ada dua kemungkinan, pertama karena kebanyakan para peziarah memang tidak tahu menahu perihal tata cara ritual yang ada, dan yang kedua, bisa jadi karena di areal pesarean gunung Kawi telah menyediakan banyak fasilitas umum yang memadai seperti penginapan dan tempat-tempat istirahat yang representatif, sehingga langsung menuju kawasan pesarean merupakan pilihan yang lebih menarik selain menghemat waktu.
Tata cara ritual yang terlewatkan ini, selain berdampak pada hilangnya kearifan lokal yang pernah ada juga berdampak pada ekonomi lokal warga dusun Segelan desa Balesari. Menurut penuturan warga, saat ini para peziarah yang singgah untuk mandi di sumber Manggis kian sedikit jumlahnya sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan di toko-toko kelontong yang berada disekitar sumber tersebut. Namun lebih dari itu, sisi kearifan lokal yang kini ditinggalkan sesungguhnya merupakan bentuk kehilangan yang lebih tidak ternilai harganya. Tata cara ritual yang dahulu pernah diajarkan, sesungguhnya merupakan pelajaran yang amat berharga bagi masyarakat secara luas bahwa upaya-upaya mensucikan diri dari berbagai kemelekatan dunia perlulah untuk terus menerus dilakukan oleh manusia.
Pada ritual ini juga diajarkan agar manusia menjaga hubungannya dengan sang pencipta dan pada saat yang sama juga menjaga hubungan baiknya dengan alam sekitar, yakni sumber air. Sumber air, bagi masyarakat jawa memang dipercaya berfungsi sebagai media pensucian diri sehingga kelestariannya pun menjadi wajib untuk terus dijaga. Saat ini mengembalikan tata cara ritual yang dahulu pernah diajarkan menjadi tanggung jawab kita bersama. Tata cara ritual tersebut adalah bagian dari kekayaan kebudayaan yang sesungguhnya adalah milik kita.
Kehadiran program Dewa-Dewi Ramadaya (Desa Wisata Agro-Industri Ramah Anak dan Berkebudayaan) yang di usung oleh Yayasan Alit Indonesia dan bekerja sama dengan berbagai pihak, diantaranya Kementerian Desa PDTT RI, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, Kadin Jatim, dan LPPM UNIRA Malang, diharapkan dapat memberikan gagasan dan langkah kongkrit atas upaya pelestarian tata cara ritual yang pernah ada di sumber Manggis. Bagi Yayasan Alit Indonesia, kebudayaan adalah sabuk penguat dan pemberi rasa aman atas perkembangan desa ditengah arus modernisasi yang kian tak terbendung. Kebudayaan menjadi sabuk pemberi rasa aman tatkala suatu desa hendak beranjak diri menjadi desa wisata. Dan desa Balesari, kini tengah menjadi salah satu wilayah implementasi program Dewa-Dewi Ramadaya di kabupaten Malang. Melaksanakan kembali tata cara ritual seperti yang seharusnya haruslah segera dikembalikan.
Penulis: Muhammad Imron, Kordinator Wilayah Kabupaten Malang-Kota Batu, LPPM Unira