ALIT BROMO–Anak-anak yang biasanya berlarian di area Tetirah Gayatri, Desa Palangsari, Puspo, Pasuruan terheran-heran. Para orang tua mereka membangun sebuah lahan pertanian. Selain heran, mereka juga kaget, ruang bermain mereka menjadi berkurang ketika lahan ini mulai dibangun. Kelincahan gerak mereka terbatas, dan acapkali mereka melanggar masuk ke lahan dan menginjak penataan lansekap dan penggemburan tanah yang dikerjakan para orang tua.
Awalnya mereka belum paham apa yang dilakukan para orang tua. Rakai Kurmavatara, Program Manager ALIT Indonesia menjelaskan pada mereka, “Orang tua kalian sedang membangun lahan pertanian yang nantinya buat makanan kalian, dan ditanam tanpa pakai bahan yang merusak tubuh, biar kalian juga bisa tumbuh sehat.”
Dari situ mereka baru paham, apa yang dilakukan oleh orang tua mereka sebenarnya juga untuk mereka.
Lahan permakultur di Tetirah Gayatri ini memang dibangun dengan partisipasi warga setempat untuk menghidupkan kembali cara pertanian tradisional tanpa merusak lingkungan melalui metode permakultur. Metode ini, selain menjaga alam juga, ikut melestarikan tanaman-tanaman endemik dari Desa Palangsari.
Ragam tanaman yang ditanam di lahan permakultur semuanya adalah tanaman asli dari desa ini. Kacang tanah, jagung putih, jagung manis, buncis, sawi daging, kembang kol, jahe merah, ubi jlarot dan ubi ganyong. Sekitarnya tanaman singkong pun ikut menjadi pagar-pagar di area lahan.
Selain endemik, ragam tanaman ini dipilih untuk bisa dikonsumsi oleh para keluarga. Sehingga anggota keluarga mendapatkan asupan pangan terbaik, dari alam, tanpa bahan kimia.
“Tetirah Gayatri memang dibangun oleh ALIT Indonesia sebagai pusat konservasi lingkungan dan pendidikan budaya. Anak-anak memang biasa juga belajar kecapakan hidup serta perlindungan anak di tempat ini,” ujar Rakai Kurmavatara, Program Manager ALIT Indonesia.
Melalui Program Dewa Dewi Ramadaya, Desa Palangsari mendapatkan kesempatan mengembangkan lahan produktif untuk menjadi solusi bagi persoalan kerusakan lingkungan hidup dan penciptaan lingkungan yang baik bagi anak.
Lahan Permakultur di Tetirah Gayatri yang saat ini dikerjakan dengan partisipasi warga, dikembangkan sebagai lahan percontohan agar warga bisa mengaplikasikan metode ini di lahan mereka sendiri.
Saat ini ruang anak-anak di Tetirah Gayatri berbagi ruang dengan para orang tua mereka yang juga mengolah produksi pertanian. Di tempat inilah kemudian para anggota keluarga bisa belajar tentang budaya tani. Para orang tua secara gotong royong melakukan perawatan lahan ini.
Penggunaan pupuk cair dan pupuk organic secara berkala diaplikasikan pada lahan. Metode permakultur memang mensyaratkan penanganan organik dalam perawatannya.
Mereka bersepakat membentuk kepengurusan lahan dengan peran yang bergantian. Para laki-laki mengolah lahan, sementara perempuan merawatnya. Anak-anak yang bermain di area tak jauh dari lahan secara tidak langsung ikut belajar tentang perawatan lahan.
Keterbatasan anak-anak dalam bermain rupanya tak akan berlangsung lama, karena tak jauh dari lahan saat ini tengah dibangun rumah bambu untuk tempat belajar dan bermain mereka. Tak kepalang kegembiraan mereka. Diimbuhi dengan pemahaman mereka bahwa lahan pertanian itu adalah sebuah “warisan” dari orang tua mereka untuk mereka.
Kegembiraan ini diluapkan pula saat peringatan Hari Bumi, April lalu, mereka ikut menanam pohon rukem di lahan pertanian dan membantu membersihkan lahan. Anak-anak Desa Palangsari punya satu pembelajaran penting bahwa pertanian adalah salah satu tonggak pangan yang perlu dijaga kelestariannya.(PAL/MIS)