ALIT SUMENEP–Beberapa dekade belakangan ini, menjadi petani di Desa Prancak, Sumenep bukanlah sebuah pilihan yang membanggakan. Desa Prancak perlahan mulai banyak ditinggalkan anak muda dan dewasa usia produktif, akibat semakin sulitnya menjadi petani.
Harga pupuk yang harus mereka beli jarang sekali membuat mereka bisa tersenyum. Pupuk menjadi barang mewah untuk petani di desa ini. Sementara proses produksi tani tetap harus menggunakan pupuk untuk menjaga tanaman bisa panen sesuai waktu yang dikehendaki dan memenuhi jumlah produksi yang diharapkan.
Desa Prancak, Kecamatan Pasongsongan, Kabupaten Sumenep adalah sebuah wilayah yang terbentang di dataran rendah. Beberapa bagian desa menghadap ke laut, tetapi desa ini bukanlah desa pantai. Topografi wilayah juga diwarnai dengan wilayah perbukitan. Karena itulah pertanian masih bisa dijalankan di desa ini.
Data statistik desa menunjukkan 80 persen kegiatan ekonomi penduduk adalah bertani. Angka ini ke depan diperkirakan merosot karena semakin banyak warga yang merantau ke luar desa. Menjadi buruh migran, legal maupun illegal adalah pilihan yang menurut kaca mata mereka mampu memperbaiki kehidupan.
Pilihan ini menjadi tengara, bagi mereka, desa tak mampu mencukupi permintaan hidup. Padahal, untuk menjadi buruh migran mereka harus menghadapi trafficking yang mengancam keselamatan.
Anak-anak muda lebih memilih bekerja di kota, yang lebih dewasa terbang lebih jauh ke negeri orang dengan risikonya, dan tinggalah di desa para orang tua dan anak-anak yang kehilangan pengasuhan.
Situasi ini menuntun pada merebaknya kasus narkoba di usia muda dan perkawinan anak akibat kesulitan ekonomi. Anak-anak yang seharusnya bersama orang tua, justru lepas dari pengasuhan dan mencari aktualisasinya dengan minim pengawasan.
Tanah-tanah persawahan mulai banyak melompong. Para saudagar-saudagar dari kota yang kantungnya penuh dengan pundi rupiah mulai melirik untuk menjadikan tanah-tanah kosong itu bentuk lain yang menurut mereka lebih menguntungkan.
Jika desa sudah kehilangan pemilik-pemiliknya dan digantikan oleh mereka yang dari luar, maka ancaman pada kepunahan sejarah desa serta nilai kebudayaan di depan mata.
Di akhir tahun 2021, Program Dewa Dewi Ramadaya (Desa Wisata Agro Desa Wisata Industri Ramah Anak dan Berkebudayaan) dari ALIT Indonesia, memasuki Desa Prancak. Yayasan ALIT Indonesia yang berfokus pada perlindungan anak, melihat situasi cukup genting bagi perkembangan anak-anak di Prancak.
Anak-anak mulai kehilangan lingkungan yang baik bagi ruang aktivitasnya dan potensi semakin terpuruknya ekonomi sehingga keberlangsungan hidup anak-anak pun ikut terancam.
Program Dewa Dewi Ramadaya di wilayah desa menggerakkan anak muda untuk bangga atas kebudayaan yang mereka miliki dan berperan dalam pemajuan desa; mendorong aktivitas pertanian berkelanjutan menggunakan sistem permakultur dan perlindungan anak yang dirancang melalui aktivitas peningkatan kecakapan hidup.
Langkah sosialisasi aktivitas pertanian kepada para orang tua anak-anak yang ikut serta dalam aktivitas program ini disambut baik oleh para warga. Mereka bersepakat untuk saling berpartisipasi dalam membangun pertanian di desa mereka. Lahan kas desa dijadikan sebagai demonstration plot dalam implementasi metode Permakultur.
Rosinah, team ALIT Sumenep menyatakan, “Kami melihat antusiasme para warga ketika kami menyampaikan tentang metode permakultur. Warga seperti diingatkan kembali, sistem ini pernah dijalankan sebelum tahun 1970an sebelum Indonesia memberlakukan kebijakan tanam yang monokultur dan penggunaan pupuk kimia.”
Sementara itu, Rakai Kurmavatara Program Manager ALIT Indonesia menandaskan, “Memang metode permakultur ini bukan hal baru bagi Indonesia. Nenek moyang kita sudah melakukannya dan disebut sebagai tumpang sari. Jadi, gerakan ini juga berarti mengembalikan budaya tani yang sudah dimiliki Indonesia sejak lama.”
Untuk mengorganiskan mekanisme pertanian, mereka membentuk kepengurusan demplot permakultur. Beranggotan 13 orang, mereka mengorganisir dan bekerja secara swadaya di demplot untuk memberikan percontohan kepada warga yang lain tentang sistem permakultur.
Dengan percontohan ini, maka yang lain akan mudah untuk menerapkan di lahan masing-masing. Dengan kesadaran bergotong royong untuk pemulihan kedaulatan desa. Para laki-laki membajak dan mengolah lahan, sementara para perempuan ikut berperan dalam perawatan lahan.
Mereka pun giat mengunduh banyak pengetahuan tentang pertanian kembali, salah satunya pembuatan pupuk cair dan pupuk padat organik bersama dengan warga Dusun Prancak. Bahan-bahan pupuk didapatkan dari sekitar mereka dengan cara tradisional, seperti kohe, bekatul dan sekam.
Sementara lahan disiapkan, tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi disemai untuk ditanam di lahan demplot, seperti terong, kacang panjang, langker, timun, temu lawak, temu ireng, lengkuas, kunyit, buah naga, dan cabe jamu/lempuyang. Ragam tanaman yang semakin banyak ini menambah pola sebelumnya yang hanya berfokus pada tanaman padi, palawija, cabai, jagung di musim hujan, serta menanam tembakau pada musim kemarau, bawah merah, bawang daun dan semuanya menggunakan campuran pupuk kimia.
“Sehat di badan, sehat juga buat tanah dan tanaman,” ujar Wasil, Ketua Pengurus Demplot ketika ditanya tentang manfaat permakultur bagi mereka. Wasil mengalami bagaimana pengaruhnya pupuk kimia pada kesehatan, karena itu Wasil antusias untuk memahami tentang penggunaan pupuk organik ini.
Waidah, anggota perempuan pengurus demplot pun menambahkan, “Kami sekarang memiliki harapan baru hidup di desa. Dengan demplot permakultur ini bisa membawa pertanian yang sempat terbengkalai karena lebih mementingkan kimia, kemudian menjadi contoh kepada masyarakat umum, dan bisa dimamfaatkan oleh masyarakat prancak, dan meningkatkan ekonomi warga.”(PRC/MIS)