ALIT BANYUWANGI–Sungai Setail mengalir dari Selatan Banyuwangi, berbelok ke Timur lalu lepas di Selat Bali. Sungai ini lahir dari lekukan materi erupsi dari letusan Gunung Raung dan merupakan sungai terpanjang di Banyuwangi.
Dari hasil penelitian, sungai ini tercemari akibat aktivitas manusia di pinggiran sungai, mulai dari pembuangan sampah hingga aliran bahan kimia pertanian di sekitarnya. Itu satu cerita dari Sungai Setail, tapi, Desa Sempu punya cerita lain tentang sungai ini.
Di pinggir Sungai Setail yang melewati salah satu lekuk di Desa Sempu kini dimanfaatkan warga sebagai lahan pertanian permakultur. Metode pertanian berkelanjutan yang memadukan semua elemen alam menjadi sirkular ekologi ini digiatkan secara swadaya oleh warga Desa Sempu.
Dengan membangun lahan pertanian permakultur di pinggir Sungai Setail, otomatis aktivitas ini menjadi bagian dari konservasi sungai. Permakultur yang mensyaratkan tanpa bahan kimia menghentikan kerusakan mengaliri sungai bersejarah itu.
Tak hanya itu, lahan permakultur disiapkan oleh warga setelah mereka melakukan pemuliaan tanah dengan penggemburan, sehingga unsur-unsur kimia yang merusak tanah dan tanaman yang akan ditanam di atasnya nantinya bisa tumbuh dengan baik dan sehat untuk dikonsumsi.
Desa Sempu, Genteng, Banyuwangi memulai bertani permakultur sejak akhir tahun 2021. Sebagai desa peserta Program Dewa Dewi Ramadaya dari ALIT Indonesia yang juga memiliki perhatian kedaulatan pangan untuk kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak Indonesia, Desa Sempu bergerak cepat dalam berpartisipasi. Lahan desa disiapkan sebagai demonsration plot, lahan percontohan metode permakultur untuk diaplikasikan pada lahan-lahan milik warga lain.
Bukan tak sengaja lahan ini dipilih di pinggir Sungai Setail. Pemilihan lahan ini dinilai menjadi strategis karena selain membangun pangan yang kuat dan sehat pun menjaga konservasi sungai. Ditambah lagi, hasil dari kedua ruang ini, sungai dan tanah, jika disatukan dan dikelola secara bijak akan menjadi produk yang bisa meningkatkan ekonomi keluarga.
Buktinya, saat ini, Desa Sempu sudah bisa menghasilkan sambal wader produksi ibu-ibu. Memanfaatkan ikan sungai dan mengambil hasil panen cabai dari lahan pertanian.
Fandi, Team ALIT Banyuwangi mengaku, “Awalnya tak mudah mengubah konstruksi berpikir masyarakat tentang metode pertanian yang sudah mereka lakukan selama ini. Kegiatan bertani masih dipandang sebelah mata oleh banyak warga usia produktif. Bagi mereka, lebih baik kerja di pabrik atau kantoran, ketimbang berkotor-kotor di tanah. Mereka pikir, dari bertani tidak akan bisa memenuhi kebutuhan.”
Fandi dan teamnya bekerja esktra untuk mensosialisasikan pembangunan lahan permakultur ini. Beruntung Kepala Desa Sempu memberikan dukungannya, dengan membolehkan lahan desa digunakan sebagai demonstration plot.
“Karena itulah demonstration plot ini penting untuk menunjukkan kepada warga hasil yang bisa dicapai dengan cara efisien. Tak perlu beli pupuk, karena bisa buat sendiri secara organik. Penataan lansekap yang dibuat sirkular untuk efisiensi sumber daya, serta ragam tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi, kami harap bisa membuka mata semua warga di sini untuk memulai metode ini di lahan-lahan mereka sendiri,” imbuh Fandi.
Team ALIT Indonesia menurunkan konsultan pertanian ke berbagai desa untuk memberikan kapasitasi dan pendampingan dalam pengolahan pertanian.
“Banyuwangi itu terkenal sebagai tempat pembenih. Sayang jika potensi ini kemudian hilang jika kita tidak memperhatikan pertanian. Apalagi, isu lingkungan sekarang sudah menjadi isu global. Indonesia yang subur harus kembali berdaulat dalam penyediaan sumber pangan,” ujar Rakai Kurmavatara, Program Manager ALIT Indonesia.
Saat ini di Desa Sempu telah terbentuk pengurus demplot yang beranggotan 13 orang warga. Mereka adalah para orang tua yang anak-anaknya ikut dalam aktivitas kelas kelas perlindungan anak oleh ALIT Indonesia.
Kasiyanto, Ketua Pengurus berujar,”Biasanya petani di sini hanya bertanam padi, sayuran dan buah naga. Dan masih menggunakan pupuk kimia. Tetapi di lahan ini kita bisa tumpang sari dengan ragam tanaman lain. Ini kan efektif sekali.”
Lahan permakultur Desa Sempu telah menetapkan ragam tanaman endemik di desa tersebut, mulai dari toga, sayuran, bunga setaman, pohon sempu, nangka, alpukat, jambu air, pohon puleh, sawo, manggis, kepel, kakao, kelor, durian, umbi, markisa, gambas, cabai, tomat, timur, daun bawang, bawang Bombay dan jeruk.
“Sistem ragam tanam dan pupuk organik serta penggunaan air dari kolam ikan benar-benar membuat lahan ini menjadi efektif. Apalagi, sekarang anak-anak muda juga mulai belajar merawat tanaman di lahan ini. Anak-anak pun ikut bermain di sekitar lahan,” ucap Sunarto, warga pegiat permakultur dengan nada syukur.
Gerakan pertanian ini memang digiatkan juga pada anak-anak muda agar mereka bisa belajar hal baik dari pertanian, sehingga regenerasi pertanian terus terjadi. Lahan permakultur yang juga menjadi pekarangan bagi sebuah rumah konservasi budaya di desa, juga menjadi ruang bagi anak-anak desa beraktivitas dan belajar tentang budaya.
Dari Desa Sempu, kita melihat sebuah cerita tentang keluarga-keluarga yang kembali menjadikan desanya berdaulat dan berdaya. (BWI-JBR/MIS)