Melalui program Dewa Dewi Ramadaya (Desa Wisata Agro Desa Wisata Industri Ramah Anak dan Berkebudayaan), ALIT Indonesia bersama dengan tiga pemerintah desa, yaitu Desa Tampaksiring, Gianyar-Bali; Desa Klungkung, Sukorambi-Jember, dan Desa Sempu, Banyuwangi telah menghasilkan rumusan Peraturan Desa Perlindungan Anak pada bulan Agustus ini.
Kasus-kasus eksploitasi seksual pada anak di dunia pariwisata telah menjadi perhatian besar dari ALIT Indonesia sejak 2019. Berdasarkan roadmap yang telah disusun oleh ALIT Indonesia, banyak wilayah desa wisata rentan pada ekspolitasi seksual pada anak.
Gencar dunia pariwisata selepas menurunnya pandemi, juga kebijakan 10.000 desa wisata yang digenjot untuk mengembalikan lagi kestabilan ekonomi, berpotensi menimbulkan eksploitasi pada anak-anak di desa yang berada dan beraktivitas di wilayah-wilayah destinasi wisata. Selama ini, kasus-kasus eksploitasi seksual pada anak di wilayah pariwisata yang terjadi lepas dari payung hukum. Kebijakan perlindungan anak belum diterapkan di setiap lini. Sehingga ketidaktahuan masyarakat dan kurangnya literasi mengenai perlindungan anak membuka banyak kesempatan terjadinya eksploitasi seksual.
Program Dewa Dewi Ramadaya dirancang oleh ALIT Indonesia untuk mengingatkan kembali pentingnya menjaga anak-anak di desa-desa wisata.
Rakai Kurmavatara, Program Manager ALIT Indonesia menyatakan, “Dalam program ini kami bergerak dalam bentuk pendampingan dan partisipasi masyarakat, melalui penguatan kebudayaan lokal yang menjadi landasan nilai hidup adi luhung warisan nenek moyag, peningkatan ketahanan pangan, kesehatan dan ekonomi melalui pembangunan metode tanam permakultur, serta mendorong terwujudnya peraturan perlindungan anak di tingkat desa.”
Desa Tampaksiring-Bali, Desa Klungkung-Jember, Desa Sempu-Banyuwangi adalah tiga desa pertama peserta Program Dewa Dewi Ramadaya yang menggolkan kebijakan perlindungan anak di wilayah mereka. Sementara, program ini telah dijalankan di 12 wilayah di tiga provinsi di Indonesia, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara.
“Penyusunan perdes ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar, kami berdiskusi dengan masyarakat, perangkat desa dan tokoh adat untuk membuat peraturan desa yang juga berlandaskan budaya lokal. Pada proses ini, yang paling terpenting adalah, masyarakat telah memiliki kesadaran pentingnya payung hukum di desa untuk perlindungan anak,” ujar Anthon Kurniawan, Divisi Advokasi ALIT Indonesia.
Perwujudan Peraturan Desa mengenai perlindungan anak ini merupakan langkah maju dan menggembirakan di tengah semakin maraknya kasus-kasus eksploitasi dan kekerasan seksual pada anak di Indonesia. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia masih dalam posisi yang sangat rentan dan membutuhkan kesadaran semua pihak untuk memahami dan menjalankan kebijakan perlindungan anak di semua tempat.
“Kami berharap, Perdes Perlindungan Anak bisa segera diduplikasikan dan sosialisasikan ke wilayah yang lain, sehingga Indonesia benar-benar diakui sebagai ramah anak,” pungkas Yuliati Umrah, Direktur Eksekutif ALIT Indonesia
ALIT Indonesia adalah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang perlindungan anak. Berdiri sejak 1998 di Surabaya dan saat ini tengah bergerak untuk program Desa Wisata Agro dan Desa Wisata Industri yang Ramah Anak dan Berkebudayaan (DEWA DEWI RAMADAYA). Program ini didukung pula oleh Die Sternsinger (Germany) dan Schmitz Stiftungen (Germany).*** (MIS)