Desa Palangsari merupakan desa yang terletak di lereng Gunung Bromo. Suasana desa sangat damai dengan udara yang sejuk.
Desa Palangsari berada di ketinggian antara 800-1400 MDPL. Desa ini merupakan pintu Gerbang dari TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru).
Berawal dari cerita sesepuh desa, bahwa masyarakat desa Palangsari masih memiliki tradisi suku Tengger yaitu melakukan upacara barikan.
Barikan adalah tradisi berkumpulnya warga yang diisi acara doa bersama yang dipimpin oleh pemuka adat. Barikan juga diisi dengan makan bersama, dengan hidangan yang dibawa oleh setiap warga. Kegiatan ini dilakukan setiap hari Jumat Legi.
Namun tradisi Barikan di desa Palangsari telah hilang dan sudah tidak pernah dilakukan lagi sejak juru kunci pedhanyangan meninggal. Namun, hal ini tidak mendapat respon dari desa. Sehingga tradisi Barikan semakin lama semakin menghilang di desa Palangsari. Tempat pedhanyangan juga semakin tidak terawat.
Selama hilangnya tradisi, masyarakat beramai-ramai melakukan doa di pedhanyangan setiap Jumat Legi. Pedhanyangan desa juga hanya digunakan saat acara ruwatan desa, yang dilakukan 1 tahun sekali. Atau acara hajatan yang menggelar kepanganan atau jaranan.
Biasanya sebelum melaksanakan acara tersebut, pihak penyelenggaran mengadakan ritual ke pedhanyangan agar acara berjalan dengan lancar.
Melihat situasi pedhanyangan yang tidak terawat, kami remaja khususnya remaja Palangsari dan sesepuh desa melakukan kegiatan rutin. Setiap Kamis malam Jumat untuk bersama-sama merawat pedhanyangan.
Para remaja juga belajar bagaimana tata cara dalam melakukan barikan, yang mana sebagian besar para remaja modern tidak tahu dengan tradisi ini.
Tujuan lain dalam kegiatan barikan yaitu agar warga desa kembali peduli dan melestarikan adat yang dulu nenek moyang mereka lakukan. Dan pada hari Jumat Legi, para remaja berkumpul di pedhanyangan dengan membawa makanan dari rumah mereka masing-masing untuk dimakan bersama di pedhanyangan bersama sesepuh desa.
Kini tradisi barikan sudah menjadi agenda rutin bagi setiap warga desa. Dimana setiap Jumat Legi, mereka berkumpul di pedhanyangan dengan membawa makanan satu talam dengan isian nasi, lauk pauk, sayuran, tempe dan tahu.
Ada juga warga yang membawa bubur merah dan putih (dari beras yang dimasak dengan campuran santan dan garam, sedangkan untuk pewarna merah menggunakan gula merah), bumbu kinang dan gedang ayu (sirih, tembakau, pinang, kapur, pisang matang dan uang logam), serta sego golong (nasi yang dibentuk bulat dan diberi isian sayur, lauk dan telur rebus di atasnya.
Kedepannya, semoga tradisi barikan ini tetap dilestarikan oleh warga, agar anak cucu mereka juga akan terus melaksanakan tradisi ini secara terus menerus dan akan tertanam rasa berbakti kepada para leluhur mereka.***
Penulis : Sonny
Editor : Riris Agustina Anggraini