Suku Tengger adalah suku dari sub Suku Jawa yang mendiami gunung Bromo dan gunung Semeru di Jawa Timur. Menurut catatan dari berbagai sumber sejarah mengungkapkan, bahwa suku ini terbentuk dari eksodus besar-besaran keluarga besar keraton kerajaan Majapahit sebelum terjadi penyerangan yang dilakukan kerajaan Demak, sekitar abad ke-16 Masehi.
Salah satu sumber sejarah mencatat bahwa Gunung Bromo (Brahma) merupakan pusat pendidikan kaum Brahmana (pemimpin agama) sejak jaman dahulu. Posisi gunung Bromo berdekatan dengan gunung Semeru (Meru), yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa (Maha Meru).
Itulah sebabnya, peristiwa eksodus besar-besaran terjadi di lokasi ini selain ke Banyuwangi (wilayah Blambangan dan menjadi sub suku Osing) dan Bali. Desa-desa yang didiami suku Tengger berada di ketinggian 800- 1400 MDPL.
Sebagain besar wilayah terdiri dari hutan yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Hutan ini menyimpan lebih dari 600 jenis tanamak endemic, hutan produksi pinus, hutan produksi warga desa dan ladang warga.
Sebagian kecil lahan dimanfaatkan untuk pusat keramaian kecamatan. Wilayah Gunung Bromo terbagi di 4 kecamatan yaitu kecamatan Sukapura yang masuk wilayah Probolinggo, Kecamatan Tutur, Kecamatan Puspo dan Kecamatan Tosari yang masuk wilayah kabupaten Pasuruan.
Sedangkan wilayah Gunung Semeru berada di Kecamatan Senduro di Kabupaten Lumajang dan Kecamatan Tumpang, Kecamatan Ponco Kusumo di kabaupaten Malang.
Pusat keramaian bagi warga suku Tengger adalah pasar Kecamatan, dimana seluruh hasil bumi dijual disana sekaligus berbelanja kebutuhan sehari-hari. Puncak keramaian pasar terjadi di hari Sabtu untuk pasar ternak dan hari Minggu.
Suku Tengger, Suku Osing dan Bali memiliki kesamaan pola kehidupan yang terletak pada penggunaan sistem penanggalan yang sama, yaitu penanggalan Jawa Kawi atau Saka. Sistem penanggalan Jawa Kawi menggunakan sistem perhitungan perputaran matahari dan bulan (solar dan lunar).
Secara umum suku Jawa tidak lagi menggunakan sistem penanggalan saka sejak era Mataram Islam yang mengubahnya menjadi sistem penanggalan Hijriyah dengan sistem perhitungan perputaran bulan ke Bumi (lunar sistem).
Dengan penanggalan itu pulalah kita mengetahui adanya serangkaian upacara, tradisi harian dan aktvitas penting seperti pertanian, membangun rumah bahkan upacara “selamatan” yang dipersembahkan bagi arwah nenek moyang atau leluhur mereka.
Dari serangkaian upacara dan tradisi yang disesusiakan penanggalan tersebut selalu disertai dengan sesaji “Ubo Rampe” yang berupa: bunga edelweis untuk hisaan kepala, sesaji sekar wangi (kenanga, cempaka, melati dan mawar serta daun pandan dan bunga pacar), bumbu kinang (sirih, tembakau, pinang dan kapur), kopi pahit, sego golong (nasi yang dibuat bulat-bulat besar didampingi lauk ikan, telur, tahu dan sambal tengger dan buah-buahan.
Bedanya, pada upacara peringatan tertentu seperti ruwatan, dipergunakan nasi kuning (kabul kajate/terkabul hajatnya) bukan sego golong. Nasi tumpeng robyong disertai dengan ayam ingkung utuh atau ayam dipanggang utuh dikubur di dalam nasi kuning. Di atasnya dipenuhi lauk pauk dari unsur biji bijian (tempe dan tahu), buah kelapa (rempah), ikan goreng, telur rebus, sayur lodeh dan sambal Tengger.
Sedangkan untuk sehari-sehari suku Tengger menggunakan nasi dari jagung putih (sego gerit) dan mereka buat sendiri (ditumbuk atau istilah mereke di kecros) dari hasil pertanian mereka disertai lauk tempe yang dibuat dari jenis kacang-kacangan tertentu (semacam kacang koro dan biji kacang polong), sayur dari daun daunan apa saja (beluntas, labu siam, tapak liman, daun meniran, daun pegagan) dan buah labu siam yang direbus (kulupan), ikan asin (gerih) dan sambel Tengger.
Bila musim penghujan, akan ada lauk tambahan yakni sambel goreng jamur Grigit (jamur yang tumbuh di kayu lapuk) atau oseng jamur barat (semacam jamur tiram raksasa yang tumbuh dari tanah lembap). Makanan sederhana tetapi memiliki keistimewaan dari ciata rasa unik dan sedap.
(to be continue……)
Penulis : Yuliati Umrah (Director Excecutive of Alit Indonesia)
Editor : Riris Agustina Anggraini