Tidak seperti biasanya kuliah dibuka dengan salam dari berbagai agama dan budaya. “Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Syallom Alleheim, Ohm Swastiastu, Namo Budaya, Rahayu, Hong Ulun Basuki Langgeng, Salam Kebajikan.”
Yang mengucapkan salam adalah Ibu Yuliati Umrah, Direktur Eksekutif Alit Indonesia, yang sedang diundang untuk mengajar di Universitas Kristen Petra untuk mengisi mata kuliah Etika dalam Keberagaman Relasi Publik Program Studi Ilmu Komunikasi (17/05/23).
Ibu Yuli membawakan materi yang berjudul Bangga Menjadi Bangsa Kaya Ragam Budaya. Materi ini menjelaskan tentang hubungan sosial dalam bingkai keberagaman budaya nusantara. Materi dimulai dari pemahaman dan pengetahuan mengenai cara mengucap salam dan menyapa.
“Ini (Mengucapkan salam) dapat mempermudah kita untuk semua urusan kita bersama penduduk setempat karena mereka tidak akan merasa terlalu asing dengan kita. Indonesia atau yang dahulu dikenal dengan Nusantara memang terbentuk dari keberagaman. Tidak ada kata “pribumi”, karena orang-orang Indonesia saat ini merupakan campuran dari berbagai etnis yang berasal dari berbagai wilayah” menurut Ibu Yuli sambil menjelaskan.
“Nusantara memiliki kekayaan yang sumberdaya alam yang berlimpah. Inilah yang kemudian mengundang orang-orang Eropa ke negeri kita untuk mencari makan, rempah, obat-obatan, dan energi. Indonesia merupakan negara kepulauan dimana tradisi komunal sangat kuat sebagai identitas dan kekuatan masing-masing suku. Keragaman budaya lahir dari keragaman kekayaan alam negeri kepulauan ini.” tambah Ibu Yuli.
Kuliah hari itu memberikan pesan yang lugas dan padat bahwa bahwa kita semua harus menghargai sesama dengan memberikan porsi sesuai yang dibutuhkan dan mengembangkan toleransi dalam bermasyarakat. Semua perbedaan adalah bagian dari kekayaan bangsa.
Bangga itu penting tetapi jangan fanatic. Terdapat perbedaan mendasar antara bangga akan identitas dengan fanatisme identitas.
Bangga mencerminkan rasa percaya diri dan yakin bahwa orang di sekitarnya memberikan pengakuan atas jati dirinya. Sedangkan fanatisme merupakan sikap merasa paling benar dan menilai orang lain salah, bodoh dan lebih rendah.
Di penghujung kuliah Ibu Yuliati Umrah peserta kuliah dan orang di sekitarnya untuk mengajak kita semua untuk menilik kembali dan menerapkan budaya kita dalam kehidupan sehari-hari agar terciptanya lingkungan tanpa diskriminasi.
Penulis : Riris Agustina Anggraini
Editor: Ranau Alejandro