Penari Sandor yang berjumlah 21 orang, duduk melingkari Buju’. Setelah persiapan dan makan bersama selesai, salah satu dari penari yang menjadi pemimpin, memimpin pepujian, mantra, dan doa tanpa iringan alat musik dalam Bahasa Madura.
Lantunan ini mirip dengan Macapat (dalam tradisi Jawa dan Bali) atau Mamaca (dalam tradisi Madura). Dalam lirik pepujian yang mereka lantunkan, akan ada kata Sandurrenang. Ini menandai bahwa tarian akan segera dimulai.
Setelah itu, para penari berdiri sambil bergandengan tangan. Gerakan tubuh dan kaki yang dilakukan dalam pertunjukan ini sangat sederhana, tetapi memiliki ritme yang khas dan mengikuti pepujian dan doa yang dinyanyikan bersama oleh para penari. Salah satu gerakan khas dalam tarian Sandur adalah para penari beberapa kali merapatkan tubuh ke dalam dan kemudian menggerakkannya keluar.
Dalam lirik mantra dan doa yang diucapkan para penari, ada kata “Sandurelang,” yang secara harafiah berarti “Sandur yang hilang.” Kata ini pula yang kemudian dijadikan sebagai nama ritual dari Desa Klungkung ini. Tarian Sandor memiliki durasi sekitar satu jam.
Sayangnya, informasi terkait sejarah, lirik mantra dan doa, serta makna dari tiap detail gerakan tari Sandor Relang cukup sedikit. Tujuan dari ritual Sandurelang atau Sandor Relang adalah untuk memohon perlindungan dan penghindaran dari bencana dan malapetaka kepada Tuhan Yang Maha Penguasa. Pertunjukan ini menjadi bentuk ekspresi spiritual dan upaya komunal untuk mendapatkan pertolongan dan berkah dari Sang Pencipta Alam Semesta.
Tarian Sandurelang membawa makna mendalam dan sangat penting dalam konteks budaya dan keyakinan masyarakat, serta gambaran hubungan spiritual dengan Tuhan dan Alam Semesta.
Melihat bagaimana dalamnya makna tersebut, diharapkan melalui dukungan terhadap kebudayaan lokal seperti tarian Sandor Relang dan Rumah Adat Pacenan, dapat menciptakan dampak positif bagi masyarakat serta terwujudnya visi misi ALIT Indonesia dalam melindungi anak-anak dan memenuhi hak anak khususnya di Desa Klungkung. Desa Klungkung yang terletak di lereng Gunung Argopuro, telah menjadi desa dampingan ALIT Indonesia sejak tahun 2020. Sayangnya, masih banyak terjadi kasus stunting dan perkawinan anak yang menyebabkan banyaknya janda yang masih berusia anak-anak dan menjadi korban eksploitasi.
Untuk itu, dengan menguatnya budaya dan ekonomi masyarakat, dapat mengurangi eksploitasi anak, memperbaiki kondisi kesehatan dan perkembangan anak-anak di Desa Klungkung. Dengan memahami dan memelihara warisan budaya mereka, komunitas diharapkan dapat tumbuh kuat dan semakin sigap dalam melindungi anak-anak dari risiko-risiko yang merugikan mereka.***
.
Penulis : Riris Agustina Anggraini
Editor : Ranau Alejandro