Kain tradisional Nusantara yang sangat beragam terlahir dari budaya-budaya yang berkembang di berbagai tempat di Indonesia. Kain tradisional ini kemudian menjadi salah satu identitas yang khas bagi masing-masing wilayah. Batik, tenun, songket, tapis, sasirangan, ulos, hanyalah sebagian kecil dari kain tradisional yang kita kenal.
Keberagaman dan keindahan yang penuh makna dari kain-kain tradisional di Indonesia inilah yang kemudian memikat hati Ibu Yuliati Umrah, Direktur Eksekutif ALIT Indonesia.
Ketertarikan pada kain tradisional ini berawal dari tahun 2002, ketika Ibu Yuli pergi ke Ambon untuk kegiatan kemanusiaan pasca konflik bersenjata disana. Beliau mendapat titipan dari sahabat beliau untuk mencari kain tenun khas Maluku.
“Dari situ ada Tenun Tanimbar yang langka. Aku dapat dua, yang satu takkasihkan Bu Pinky, yang satu taksimpen. Tahun 2002 sebelum lahirnya Ivan, aku ke Bangkok. Aku pake syal tenun itu dan dipuji orang-orang. You’re beautiful.” cerita Ibu Yuliati Umrah kepada Tim MIS, Senin (7/8/2023). Ada rasa bangga akan budaya Indonesia yang makin menguat ketika mendengar pujian dari orang-orang tersebut.
Di tahun 2004, ketika Ibu Yuli ke Timor, beliau mendapatkan Tenun Atambua. Kemudian ketika beliau menjadi relawan kemanusiaan di bencana tsunami Aceh tahun awal 2005, beliau melihat banyak orang yang menjual kain tradisional mereka untuk bertahan hidup dan membeli kain tradisional yang dijual. Disinilah, rasa cinta beliau pada kain kian lama makin tumbuh.
Kain-kain tradisional yang beliau miliki ini kemudian dipakai di berbagai event penting baik dalam skala nasional maupun internasional dan mendapat tanggapan yang positif dari berbagai pihak. Banyak yang memuji keindahan dari kain-kain tersebut.
Keindahan kain-kain tradisional ini yang kemudian membuat beliau membuka kembali lemari yang berisi kain-kain batik Pekalongan peninggalan dari sang Ibu.
“Dari situ sadar. Berawal dari tenun, jadi memperhatikan kainku sendiri. Ternyata apik yo. Dari memperhatikan kain-kain itu tadi, makin banyak orang yang mengenal saya dan kalo butuh uang, jual kain ke aku. Yo batik, yo tenun, songket, apapun. Dari situ aku buka toko biar transaksinya jelas.” kata Bu Yuli.
Dari sinilah ibu Yuli mulai memahami bagaimana susahnya para pengrajin kain tradisional. Sebagai pengrajin mereka dibayar murah, biaya pameran mahal. Namun kalau tidak ikut pameran, mereka harus konsinyasi dengan toko-toko besar dan menunggu berbulan-bulan untuk pencairang uang hasil penjualan. Dengan catatan jika ada yang laku.
Ditambah lagi sistem ijon yang merajalela dan bencana alam, semakin memperparah situasi mereka. Situasi ini yang kemudian perlahan-lahan melunturkan semangat para pengrajin kain tradisional untuk membuat kain tradisional yang sangat indah dan penuh makna ini. Mereka beralih ke membuat kain yang dijual dengan harga murah agar segera mendapatkan uang.
Dari sinilah beliau semakin gigih untuk mempelajari kain tradisional dan makna-maknanya. Beliau ingin menghapuskan system ijon dan membuat para pengrajin kain tradisonal ini lebih berdaya. Rasa semangat ini yang membawa beliau menjadi kolektor kain batik dan kain tradisional lain yang rata-rata memiliki harga yang sangat fantastis hingga saat ini. Saat ini, beberapa koleksinya dapat dilihat di website Galeri Dewa Dewi Ramadaya.
Andalan koleksi Ibu Yuli salah satunya yaitu batik-batik pesisiran. Batik pesisiran memiliki motif yang cenderung dinamis dan cenderung menggambarkan apa yang dilihat, namun tetap mengikuti pakem yang ada.
Warnanya yang berani juga menjadi daya tarik yang khas. Contohnya sebut saja Batik Pekalongan, Batik Lasem, Batik Madura, dan Batik Cirebon. Ciri yang khas inilah yang membuat batik pesisiran memiliki harga yang sangat fantastis dan diburu oleh para kolektor.
Rasa bangga akan batik dan kain tradisional ini mulai terwariskan pada remaja-remaja di ALIT Indonesia. Ada yang suka menyanting, bermain warna alami, menjahit, hingga suka belajar semua hal tentang batik. Rasa suka ini yang kemudian diasah lebih lanjut, sehingga membentuk sebuah skill baru.
Salah satu murid Ibu Yuli yang menyukai batik dan prosespembuatannya adalah Farra Ayu. Mahasiswa D3 Pajak Universitas Airlangga ini memiliki ketertarikan pada batik. Dari mulai berkreasi dalam fashion dengan memakai kain-kain batik tanpa dijahit, membuat pola, mencanting, bahkan hingga bermain dengan warna-warna alami. Dia juga aktif dalam membagikan dan mengajak teman-temannya untuk belajar membuat batik. Dan rasa Sukanya pada batik ini menarik rasa penasaran orang-orang di sekitarnya, untuk mempelajari batik lebih lanjut.
Dengan semangat dan antusiasme ini, Ibu Yuliati Umrah berharap agar rasa cinta dan bangganya terhadap kain tradisional dapat diteruskan oleh para generasi muda agar budaya dari negeri kita tidak luntur termakan jaman.***
Penulis : Riris Agustina Anggraini
Editor : Ranau Alejandro