ALIT INDONESIA– Masa anak-anak adalah masa krusial dalam kehidupan manusia. Tahapan pertumbuhan dan perkembangan fisik, psikis, dan sosial terjadi di masa ini. Untuk itu, setiap anak adalah manusia yang mempunyai hak atas keadilan, kebebasan, dan kesempatan untuk berkembang tanpa membedakan bangsa, ras, agama atau warna kulit.
Mirisnya, adanya peraturan yang melindungi hak anak tidak memperkecil angka pernikahan anak di Indonesia. Bahkan, Indonesia masuk ke dalam 10 negara dengan prevalensi tinggi dalam pernikahan anak. Berdasarkan data UNICEF, terdapat 1.220.900 anak perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun. Diperkirakan kasus yang terjadi dan tidak tercatat, jauh lebih besar dari angka dalam data tersebut. Lalu apa yang membuat angka pernikahan dini masih begitu tinggi?
Untuk di wilayah pedesaan, stigma negatif berkembang pada perempuan yang menikah melebihi usia ‘ideal’ di tempatnya. Usia ideal ini yaitu usia dimana perempuan sudah mengalami menstruasi yang pertama dan dianggap sudah dewasa serta siap membina rumah tangga.
Sedangkan di daerah perkotaan, kehamilan yang terjadi di luar pernikahan (unwanted pregnancy) menjadi salah satu faktor kuat yang mendukung tingginya pernikahan di bawah umur. Selain itu, anggapan masyarakat bahwa pembahasan tentang kesehatan reproduksi dan sex education itu tabu dan konstruksi masyarakat terkait pernikahan yang menjadi jalan keluar di berbagai masalah, ju ga menjadi alasan kuat tingginya angka pernikahan anak.
Anak-Anak Program Merdeka Belajar ALIT Surabaya. (Management Information System Team)
Menurut UNICEF, anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun. Populasi anak secara global diproyeksikan mencapai 2,4 miliar jiwa pada tahun 2023. Dalam data ini, Indonesia menjadi negara dengan populasi anak terbesar ketujuh di dunia dengan jumlah populasi sebanyak 82,96 juta jiwa.
8 Negara dengan Jumlah Anak Terbanyak di Dunia tahun 2023 menurut UNICEF (https://dataindonesia.id/)
Dengan jumlah yang besar tersebut, setiap anak yang hidup memiliki hak-hak yang setara. Pentingnya kehidupan dan hak-anak anak termuat dalam hasil dari Konvensi Hak-Hak Anak atau lebih dikenal sebagai UN-CRC (United Nations Convention on the Rights of the Child). UN-CRC adalah sebuah deklarasi universal tentang hak asasi manusia yang menjamin hak anak pada bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, kesehatan, dan budaya yang disahkan pada tahun 1989 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
UN-CRC telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1990, pada masa pemerintahan orde baru. Indonesia baru mengadaptasi konvensi ini ke dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang direvisi kembali pada tahun 2014 dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014.
Korban pemerkosaan yang hamil dan membuat pelaku harus menikahi korban, anak yang hamil di luar nikah dan kemudian melakukan praktik ‘membeli umur’ untuk dapat menikah secara resmi, praktek perjodohan dini yang dilakukan antar keluarga, mitos dan kepercayaan bahwa menolak lamaran dapat membawa kutukan, melakukan pernikahan untuk memperlancar proses administrasi pendaftaran tenaga kerja ke luar negeri, dan terhimpit ekonomi, merupakan segelintir alasan yang ada untuk melakukan pernikahan anak.
Terjadinya pernikahan anak tidak akan lepas dari resiko yang dapat terjadi. Baik dalam hal kesehatan, psikologis, ekonomi, hingga sosial. Beberapa resiko yang dapat terjadi akibat perkawinan anak diantaranya:
- Kematian ibu dan anak akibat belum matangnya fisik dan psikologis ibu
- Susahnya mengakses layanan reproduksi oleh pengantin anak karena keterbatasan kekuasaan dalam pengambilan keputusan dan ketergantungan ekonomi.
- Anak yang menikah dengan orang yang berusia jauh lebih tua cenderung kehilangan hak untuk mengekspresikan pendapat mereka karena adanya rasa takut.
- Perempuan yang lebih muda, khususnya mereka yang berusia 15-19 tahun, dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah memiliki risiko kekerasan fisik atau seksual yang lebih tinggi
- Kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan pengembangan relasi sosial
- Perempuan korban pernikahan anak, cenderung hanya melakukan tugas domestik dan susah untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi
- Anak-anak dari ibu muda yang tidak berpendidikan juga kecil kemungkinannya untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, sehingga mengabadikan siklus rendahnya tingkat melek huruf dan peluang mata pencaharian yang terbatas
- Melanggengkan kemiskinan
- Tingkat kekerasan dan perceraian yang tinggi
Oleh karenanya, ALIT Indonesia melakukan beberapa hal untuk membantu anak-anak mendapatkan hak mereka. Dengan jumlah anak dampingan sebanya 1165 anak, berbagai upaya dilakukan agar hak-hak anak dapat terpenuhi. Diantaranya melalui Program Perlindungan Anak (Perlina), advokasi, dan Program Dewa Dewi Ramadaya (desa wisata agro dan desa wisata industri ramah anak dan budaya).
Demplot Permakultur di ALIT Bromo (Management Information System Team)
Dengan berjalannya program ini diharapkan, orang tua dapat lebih berdaya secara ekonomi. Sehingga anak-anak dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan pernikahan anak dapat dicegah dengan lebih optimal.***
Penulis : Riris Agustina Anggraini
Sumber :
Aditya, R. I., & Waddington, L. (2021). The Legal Protection Against Child Marriage in Indonesia. Bestuur, 9, 126-34.
Rumble, L., Peterman, A., Irdiana, N., Triyana, M., & Minnick, E. (2018). An empirical exploration of female child marriage determinants in Indonesia. BMC public health, 18(1), 1-13.