ALIT INDONESIA Surabaya– Dewasa ini, ketika mendengar kata ‘sakit’, pengobatan medis modern menjadi hal yang familiar dan rujukan utama masyarakat. Terutama bagi masyarakat perkotaan atau masyarakat yang memiliki akses lebih dekat dengan sarana dan prasarana umum.
Sayangnya, tidak semua orang bisa mengakses fasilitas modern dengan mudah. Terutama bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan yang jauh dari akses. Disinilah, budaya pengobatan tradisional menjadi jalan tengah yang perlu dikembangkan.
Budaya pengobatan tradisional yang berkembang secara turun menurun dapat dapat diteliti dan diuji klinis. Tidak hanya murah, pengobatan tradisional yang berasal dari tumbuhan juga lebih mudah untuk dicari. Sehingga dapat diakses oleh siapapun.
Salah satu tempat berkembangnya budaya pengobatan tradisional adalah Lereng Bromo, yang merupakan tempat tinggal dari masyarakat Suku Tengger.
Suku Tengger sangat lekat dengan tradisi pengobatan tradisional dengan memanfaatkan hasil alam untuk kehidupan sehari-hari. Hingga kini, seluruh aktivitas masyarakat memiliki relasi dengan nilai yang mereka yakini, yaitu ajaran Jawa Klasik.
Nilai yang mereka yakini erat kaitannya dengan pemanfaatan hasil alam untuk menjaga kelangsungan hidup mereka sejak ratusan tahun yang lalu hingga saat ini. Seperti pemanfaatan berbagai jenis tanaman untuk mengobati sakit maupun cara mengolah pangan agar badan tetap sehat.
Ironisnya, Bromo menghadapi situasi yang semakin beresiko sejak 10 tahun terakhir. Pembabatan hutan untuk kepentingan industri pertanian, peternakan, hingga pariwisata dilakukan secara masif. Ketiga Industri tersebut membawa implikasi pada memburuknya lingkungan hayati Jajaran Pegunungan Tengger.
Salah satu contohnya yaitu di bidang pertanian seperti susu şapı yang peternakan sapi perah. Demi menghasilkan susu sapi yang dijual ke koperasi dan perusahaan, lapisan bawah hutan dibabat habis dan diubah menjadi lahan untuk menanam pakan sapi. Kemudian penggunaan pupuk kimia dan pestisida, juga semakin memperburuk dampak terhadap alam. Di samping itu, tidak hanya dampak terhadap lingkungan alam, dampak yang dirasakan juga merambah pada situasi sosial yang berkembang di masyarakat.
Berangkat dari budaya pengobatan tradisional Suku Tengger ini, maka diselenggarakan sebuah kegiatan bertajuk Tengger Ethnomedicine Festive. Kegiatan ini terdiri dari serangkaian acara yang dilaksanakan pada tanggal 12 hingga 14 Desember 2023.
Bertempat di Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian Universitas Airlangga, acara dan pameran tidak pernah sepi. Pengunjung yang datang berasal lokal maupun Internasional. Dari mahasiswa, masyarakat umum, dosen hingga mahasiswa Internasional. Mereka berbondong-bondong datang untuk memenuhi rasa penasaran mereka tentang tradisi pengobatan tradisional dari Suku Tengger dan mengikuti serangkaian acara yang diselenggarakan.
Acara Pertama yaitu Pameran Ethnomedicine. Tidak hanya terfokus pada tanaman untuk obat, namun juga mempertunjukkan berbagai tanaman yang terkait dengan pola makan sehat dan berkhasiat khas Suku Tengger, Para Pelaku Pengobatan Tradisional, hingga Kalender Tengger yang menggunakan sistem Jawa Klasik. Ditunjukkan pula beberapa bahan yang telah diolah oleh anak-anak muda menjadi lebih modern dan lebih mudah digunakan, seperti tisane camomile mint, teh bawang dayak, dan minyak pijat dari biji krangean.
Kedua, Seminar yang membahas mengenai Lingkungan Alam dan Sosial Gunung Bromo sebagai tempat tinggal dari Suku Tengger serta budaya pengobatan tradisional yang berkembang disana. Seminar ini, menghadirkan beberapa ahli yaitu Dr. Andriyanto S,H., M.Kes. selaku PJ Bupati Pasuruan yang diwakili oleh Bapak Eka Wara Brehaspati selaku Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Pasuruan, Ibu Yuliati Umrah selaku Direktur Eksekutif ALIT Indonesia, Drs. Setia Pranata, M.Si. selaku Hubungan Masyarakat bidang Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Romo Pandita Puja Pramana sebagai Rama Dhukun dari Desa Ngadiwono dan Tetua Adat Suku Tengger.
Selanjutnya, terdapat beberapa workshop yang mengajak peserta untuk belajar dan praktik secara langsung dalam prosesnya. Diantaranya, Workshop Pembuatan Susu Koro Wedung yang dapat digunakan sebagai sumber protein nabati alternatif, Workshop Pembuatan Tisane dari berbagai tanaman obat, bunga, dan rempah, serta Workshop Sajian Khas Tengger yang menyajikan Sego Gerit Putih dan Bledus (sup dari jagung putih dan santan).
Tidak lupa, ada stan Bursa Ethnomedicine dan stan Pranata Mangsa (ramalan berdasarkan perhitungan Jawa Klasik) yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung.***
.
Penulis : Riris Agustina Anggraini